Kamis, 01 Januari 2015

Wakaf : Instrumen Kesejahteraan Ekonomi Yang Terabaikan

Suatu hal yang banyak diyakini kalangan para ekonom dan bisnisman bahwa aktivitas ekonomi (bisnis) dan aktivitas yang bersifat sosial adalah sesuatu yang berbeda, yang tidak terkait antara satu dengan yang lainnya. Tujuan berekonomi adalah untuk memberikan kesejahteraan dan atau pencapaian kejayaan pada kehidupan bermasyarakat, dan tentunya hal ini sangat terkait dengan sesuatu yang bersifat keduniaan, yang jauh dari norma-norma religius keagamaan. Sedang aktivitas sosial dianggap lebih cenderung kepada tuntutan untuk menegakkan norma-norma bermasyarakat, yang memiliki pencapaian akhir pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan akhiratnya.

Pendapat di atas mungkin benar jika ditujukan kepada agama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang memisahkan antara urusan ibadah keagamaan dengan urusan berekonomi, yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi yang bersifat keduniaan. Tetapi hal ini akan berbeda dengan Islam yang melihat bahwa aqidah, syari’ah dan mu’amalah serta akhlak adalah salah satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari sistem Islam itu sendiri. Hubungan diantaranya terjalin sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem yang integral dan comprehensive. 

Islam tidak hanya menuntut umatnya untuk sekedar menjalankan ibadah ritual yang bersifat mahdhoh, ibadah yang hanya bertendensi pada akhirat saja, atau yang hanya bertujuan pada penciptaan hubungan kepada sang Khaliq (mu’amalat ma’al khalqi). Tetapi, Islam juga mengatur adanya ketentuan tuntutan kepada umatnya untuk melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan, sebagai bentuk proses untuk pencapaian tujuan akhiratnya. Antara kegiatan yang bersifat duniawi dan kegiatan yang bersifat ukhrawi dapat berjalan bersamaan melingkupi dalam satu kegiatan. Islam memberikan fasilitas hal tersebut pada suatu instrumen diantaranya adalah zakat, infaq, shadaqah dan wakaf, yang memiliki dua unsur penciptaan hubungan, yaitu hubungan kepada sang khaliq (mu’amalat ma’al khalqi), dan hubungan kepada sesama manusia (mu’amalat ma’an nas).

Instrumen yang ditawarkan Islam ini merupakan perwujudan dari aspek moral yang menekankan kepada nilai keadilan, yang menjadi ajaran dasar yang terdapat di dalam al-Qur’an, dan salah satu bentuknya adalah terlihat pada keadilan sosial ekonomi. Konsep keadilan sosial ekonomi dalam perspektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis, suku, agama, dan ras. Hal ini dapat menciptakan hubungan antara sesama manusia hidup berdampingan secara damai dan bersahabat, walaupun memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Tentunya ini dapat diartikan sebagai bentuk dari universalitas Islam sebagai rahmat bagi semua orang/umat (rahmatan lil ‘alamin). Keadilan sosial ekonomi (economic social justice) mengandung pengertian bahwa Islam sangat menekankan persamaan manusia (egalitarianisme) dan menghindarkan segala bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi harta pada segelintir orang dan lain-lain. 

Terciptanya keadilan sosial ekonomi akan dapat menghindarkan manusia dari kesenjangan-kesenjangan diantara sesamanya, salah satunya adalah kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Tentunya ini berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Menurut M. Syafii Antonio keadilan dalam Islam dapat tercipta diantaranya adalah dengan: 1. Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu. 2. Menjamin hak dan kesempatan kepada semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi. 3. Menjamin pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs fulfillment) setiap anggota masyarakat. 4. Melaksanakan al-takaful al-ijtima’ (social economic security insurance) di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu. 

Dengan cara ini diharapkan, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan harkat dan mertabat yang telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. 

Namun, tidak dapat di sangkal bahwa perbedaan dalam pendapatan harta (kekayaan) merupakan sesuatu yang wajar, yang dapat terjadi di setiap masyarakat. Antara individu satu dengan yang lain tidak harus memiliki kesamaan atau secara merata sama harta kekayaannya. Inilah yang membolehkan adanya kekayaan pribadi dan inisiatif individual dalam semua aktivitas kehidupan. Islam tidak mengekang kebebasan individu untuk pencapaian keinginan pribadinya dan membolehkan kepemilikan pribadi, tetapi tidak menciptakan golongan miskin ke dalam jurang pemisah dengan golongan kaya tanpa tiada dijembatani, hal ini akan berakibat kepada kecemburuan sosial di masyarakat. Islam menjaga ketidakmerataan ekonomi kedalam batas-batas yang alami dan wajar. Dibolehkannya pemilikan pribadi dan ketidakmerataan ekonomi masih dalam batas-batas yang adil dalam masyarakat. Ini dimaksudkan untuk menyediakan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan dan memanfaatkan kualitas kemuliaan dirinya.

Berkaca pada Sejarah, untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam bermasyarakat, instrumen wakaf merupakan salah satu jawaban yang akan dapat mewujudkan semua itu. Wakaf dapat menjadi penunjang pembangunan ekonomi masyarakat. Karena di dalam instrumen wakaf tercipta semangat tolong menolong (ta’awun), dan mengandung unsur pemenuhan kewajiban individu untuk memberikan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Individu diharapkan secara semestinya dan efisien melaksanakan setiap kewajiban yang dipercayakan padanya demi kemaslahatan umum. 

Dimasa Bani Abbasiyah, menurut MA. Mannan, instrumen wakaf sangat berperan penting menciptakan peradapan Islam. Benefit pengelolaan wakaf dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan membantu pembangunan pusat seni yang sangat memiliki pengaruh terhadap arsitektur Islam. Pada saat itu terdapat sekolah gratis karena para guru dan siswa/i mendapat makanan, pakaian dan keperluan sehari-hari dari benefit wakaf. Maka tidak heran apabila di zaman Khalifah Harun ar-Rasyid, Baghdad telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan. Wujud asset wakaf yang diberikan masyarakat pun beraneka ragam, bahkan menurut Ridwan el-Sayed di masa Bani Mamluk berkuasa wakaf uang tunai dan saham telah di kenal masyarakat sekitar (Adiwarman Karim). 

Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang memiliki kaitan erat terhadap kesejahteraan masyarakat sudah sejak lama melembaga di Indonesia. Namun, sejak semula tidak diiringi dengan peraturan perundang-undangan yang memadai, tanah wakaf itu tidak berkembang dengan baik bahkan sering menimbulkan masalah. Menurut Uswatun Hasanah (Modal, juli 2003), hal inilah yang memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda untuk menertibkan tanah wakaf di Indonesia. Pada waktu Priesterraad (Pengadilan Agama) didirikan berdasarkan Staatsblad No. 152 tahun 1882, salah satu wewenangnya adalah menyelesaikan masalah wakaf.

Setelah merdeka, pemerintah RI melakukan pembaharuan Hukum Agraria, persoalan perwakafan tanah mendapat perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yakni UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam pasal 49 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1960 disebutkan bahwa untuk melindungi keberlangsungan perwakafan tanah, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Milik.

Perhatian pemerintah terhadap perwakafan tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Peradilan Agama Bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang salah satunya adalah wakaf. 

Dengan PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia berjalan tertib dan teratur. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan tersebut pada 30 November 1990 dikeluarkan instruksi bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah dan Wakaf. 
Belajar dari Bangladesh, dengan mengacu pada landasan dasar perwakafan tersebut, seharusnya dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan sosial ekonomi di masyarakat. Namun hal ini belum terlihat dengan nyata bahwa wakaf dapat mengembangkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Barangkali ini disebabkan oleh undang-undang dan peraturan tersebut hanyalah tanah milik atau wakaf yang bersifat konsumtif. Disamping itu pemahaman masyarakat pada umumnya masih beranggapan bahwa barang yang boleh diwakafkan hanyalah benda-benda tidak bergerak khususnya tanah. Di samping itu mereka juga sering berpendapat bahwa wakaf hanya dapat dimanfaatkan untuk masjid, mushalla, rumah yatim piatu, rumah sakit dan makam. 

Pola pikir yang terjadi di masyarakat ini dapat menjadi tolok ukur dari tingkat keefektifan wakaf di Indonesia. Sebenarnya wakaf tidak hanya bersifat konsumtif yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat, tetapi juga wakaf dapat dikelola secara produktif. Menurut Monzer Kahf, konsep wakaf dalam Islam mengandung pengertian perlu adanya upaya pengembangan asset wakaf yang melibatkan proses akumulasi modal dan kekayaan yang produktif melalui investasi di masa sekarang untuk kepentingan generasi di masa yang akan datang. 

Untuk menjembatani konsep tersebut di atas, M.A. Mannan menggagas adanya Wakaf Tunai dengan melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate. Model ini di anggap sangat tepat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu merangsang pertumbuhan ekonomi ditingkatan masyarakat bawah. Dengan memberdayakan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM), yang selama ini tidak mendapat perhatian secara khusus oleh pemerintah Indonesia. 

Wakaf tunai sangat relevan memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang amanah dalam fund management-nya ditengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik, dan sindrom capital flight. Ia sangat tepat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah, di samping pertimbangan hikmah rasional ekonomis kesejahteraan sosial. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental perekonomian. 

Terciptanya ide/gagasan yang cukup fenomenal ini, dapat diharapkan bagi seluruh lapisan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk ikut berlomba demi pencapaian dan peningkatan taraf hidup yang lebih layak, yang mampu menghidupi dirinya tanpa harus bergantung kepada yang lain. Di samping itu juga dapat membuka peluang baru bagi semua masyarakat untuk turut berpartisipasi mewakafkan hartanya (menjadi muwakif). 

Sumber : http://fossei.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar