Kamis, 01 Januari 2015

Sinergisitas Pengelolaan Zakat

Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia memiliki potensi zakat cukup besar. Potensi zakat di Indonesia menurut PIRAC mencapai 7,3 triliun rupiah per tahun sedangkan realisasinya hanya 3,3 triliun rupiah per tahun, sedangkan berdasarkan perhitungan FOZ (Forum Zakat) potensi zakat di Indonesia mencapai 17,5 triliun rupiah per tahun dan yang disalurkan melalui lembaga pengelola zakat hanya 350 milyar rupiah per tahun. Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005 menyebutkan bahwa potensi zakat, infaq, dan shodaqoh di Indonesia mencapai 19,3 triliun rupiah per tahun. Angka-angka tersebut akan semakin bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh, karena saat ini membayar zakat, dan berinfaq telah menjadi life style bagi umat Islam di Indonesia sejak maraknya kajian-kajian tentang keajaiban dan keutamaan berzakat dan berinfaq.

Kondisi besarnya potensi zakat tersebut mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi pengelola zakat di Indonesia, baik dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah. Sejak dikeluarkannya UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat tahun 1999 sampai saat ini sudah ada 180 Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang tercatat sebagai anggota FOZ, disamping ada ratusan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah, serta belum ditambah lagi dengan lembaga amil zakat lainnya yang belum terdaftar dalam anggota FOZ maupun BAZ.

Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Terlepas dari kontroversi kevalidan data tentang kemiskinan, angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kalaupun terjadi penurunan angka kemiskinan maka laju peningkatan penerimaan dana ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Semakin banyak LAZ/BAZ di Indonesia ternyata angka kemiskinan di Indonesia juga tidak turun secara signifikan. Kondisi ini menyiratkan adanya satu masalah besar atas pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu adanya ketidakefektifan pengelolaan zakat di Indonesia. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan segera adalah melakukan sinergisitas pengelolaan dana ziswaf yang dikelola oleh berbagai organisasi pengelola zakat di Indonesia

Overlapping Pengelolaan Zakat
            Semakin banyaknya lembaga pengelola zakat, baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat, disamping memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pengelolaan dana ziswaf di Indonesia, ternyata juga menimbulkan masalah lain yaitu ketidakefektifan dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Ketidakefesienan tersebut muncul karena adanya overlapping dalam pengumpulan dan pendistribusiaan zakat di Indonesia. Overlapping dalam pengumpulan dana ziswaf itu salah satunya nampak dari kurangnya ekstensifikasi obyek muzaki (wajib zakat). Selama ini semua lembaga pengelola zakat cenderung memiliki obyek muzaki yang sama, sehingga kadang kala dalam satu perkantoran dapat kita jumpai seorang muzaki bisa menjadi pembayar zakat pada dua organisasi zakat yang berbeda. Pada umumnya organisasi pengelola zakat di Indonesia pada saat ini hanya fokus pada wajib zakat personal dengan jenis profesi yang homogen dan tempat kerja yang sama, sehingga rentan menimbulkan persaingan yang tidak sehat diantara organisasi pengelola zakat dalam mencari dan mendapatkan muzaki. Akibat yang lain adalah beberapa potensi zakat dan muzaki yang lain, seperti zakat perusahaan dan perdagangan, menjadi terabaikan karena semua organisasi pengelola zakat di Indonesia cenderung mengejar muzaki dari kalangan profesional dan karyawan.

            Overlapping yang lain adalah dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan dana ziswaf yang terkumpul. Lemahnya sistem data informasi dan tidak adanya komunikasi antara organisasi pengelola zakat memungkinkan seorang mustahiq zakat mendapatkan distribusi dana zakat dari beberapa organisasi pengelola zakat. Akibatnya organisasi pengelola zakat di Indonesia memiliki kecenderungan untuk saling bersaing dalam program-program dengan obyek mustahiq yang sama, sehingga pemerataan pemberdayaan dana ziswaf tidak bisa terwujud secara optimal.

            Overlapping dalam pengelolaan dana ziswaf tersebut terjadi karena di Indonesia belum ada institusi yang dijadikan simpul bagi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk berkoordinasi dan bersinergi. Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat tidak menyebutkan secara jelas institusi yang menjadi koordinator untuk melakukan koordinasi dan sinergi dalam pengelolaan dana ziswaf, begitu juga institusi tentang pengawasan atas pengelolaan dana ziswaf belum diatur oleh undang-undang tersebut.

Sinergisitas: Antara Solusi dan Masalah

            Sinergisitas organisasi pengelola zakat di Indonesia merupakan kunci jawaban atas masalah ketidakefektifan pengelolaan dana zakat di Indonesia selama ini. Sinergitas tersebut akan menjadi salah satu cara untuk mewujudkan keberkahan zakat dalam kehidupan Umat Islam di Indonesia. Ada tiga tahapan penting dalam proses sinergisitas pengelolaan dana zakat di Indonesia. Tahap pertama adalah menentukan institusi yang menjadi simpul komunikasi dan koordinasi menuju sinergisitas organisasi pengelola zakat, tahap keduaadalah melakukan mapping potensi zakat yang ada di Indonesia dan melakukan distribusi tugas pengumpulan dana ziswaf sesuai dengan peta potensi yang ada, dan tahap ketigaadalah mapping program pemberdayaan dana ziswaf sesuai dengan tujuan dan target serta skala prioritas pemberdayaan dana ziswaf di Indonesia.

            Kendala utama dalam mencapai sinergisitas adalah melepaskan egoisme kelembagaan dari setiap lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia. Ketiga tahapan tersebut tidak akan bisa terwujud jika masih kuat egoisme kelembagaan lembaga pengelola zakat. Sehingga penentuan institusi apa yang bisa menjadi simpul koordinasi dan komunikasi untuk dapat bersinergi menjadi titik krusial dalam mewujudkan sinergisitas. Hal tersebut nampak dari belum adanya proses koordinasi dan komunikasi antara LAZ dan BAZ, oleh karena itu perlu adanya suatu institusi yang bisa mewadahi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia serta mengeliminasi sifat egoisme kelembagaan untuk mencapai sinergisitas pengelolaan zakat di Indonesia.

Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah

            Pemerintah dapat mengambil peran dalam memulai membangun sinergisitas dengan menjadi institusi simpul koordinasi dan komunikasi organisasi pengelola zakat di Indonesia yang bersifat netral tanpa harus mengeliminasi atau mematikan peran dari LAZ yang ada. Keinginan pemerintah untuk mengamandemen UU No. 38/1999 untuk menyatukan pengelolaan zakat di bawah pemerintah patut diapresiasi, tetapi jangan sampai keinginan tersebut akan mengeliminasi dan mematikan peran LAZ yang sudah tumbuh dan berkembang saat ini. Oleh karena itu peran pemerintah dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia harus sebatas sebagai mediator dan koordinator bagi organisasi pengelola zakat di Indonesia serta menjadi pengawas atas pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Sehingga tanggung jawab pemerintah hanya mengkoordinasi, mengkomunikasikan, dan melakukanmapping potensi zakat serta program pemberdayaan zakat agar sinergi dengan program-program pembangunan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan, dan menjalankan fungsi pengawasan.

Kementrian Zakat dan Wakaf: Langkah Awal Sinergisitas

            Pertanyaan berikutnya adalah peran dan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan dana ziswaf tersebut dilaksanakan oleh siapa?. Selama ini BAZNAS yang berada langsung dibawah presiden akan kurang efektif jika menjalankan fungsi peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang mensinergikan organisasi pengelola zakat di Indonesia, karena BAZNAS/BAZDA adalah salah satu institusi pengumpul zakat yang dikelola pemerintah sehingga rentan egoisme kelembagaan akan masih tetap muncul dari organisasi pengelola zakat yang ada.

            Alternatif yang dapat diambil sebagai institusi yang dapat menjadi simpul koordinasi dan komunikasi untuk menciptakan sinergisitas pengelolaan dana ziswaf di Indonesia adalah dengan membentuk kementrian Zakat dan Wakaf yang berfungsi sebagai rumah bersama bagi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk bersinergi, baik yang dikelola oleh masyarakat (LAZ) maupun dikelola oleh pemerintah (BAZ). Kementrian Zakat dan Wakaf akan menjadi regulator, koordinator, dan pengawas dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Pembentukan Kementrian Zakat dan Wakaf sebagai fungsi koordinator, regulator, dan pengawasan dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia akan menjadi win-win solutionbagi LAZ maupun BAZ untuk saling bersinergi dengan melepaskan egoisme kelembagaannya.


Sumber : http://noven-suprayogi-feb.web.unair.ac.id/

Dahsyatnya Wakaf

Indonesia merupakan Negara yang kaya dengan sumber daya alam serta mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Kini Indonesia menghadapi penyakit kronis yang dialami sebagian besar masyarakat, yaitu kemiskinan. Kondisi ini tentunya berbanding terbalik dengan ajaran Islam bahwa kefakiran menyebabkan kekufuran. Persoalan kemiskinan yang semakin menggurita lebih disebabkan pada persoalan distribusi kekayaan yang kurang baik serta rendahnya rasa kepedulian diantara sesama masyarakat. Bahkan lingkaran kemiskinan yang terjadi di masyarakat lebih pada kemiskinan struktural, dimana upaya mengatasinya dilakukan secara prinsipil, sistematis dan komprehensif.

Saat ini sebagian masyarakat muslim di Indonesia mempelajari kajian-kajian keagamaan masih pada kajian bab thorah dan ibadah. Padahal kajian keislaman begitu luas yang menjadi pedoman hidup bagi setiap manusia.  Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia hanya sistem Islam yang memiliki konsep secara prinsipil, sistematis dan komprehensif. Islam menjelaskan begitu gamblang tentang sistem ekonomi ber keadilan yang dapat mensejahterakan masyarakat dan menghapus jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dalam Islam kemuliaan orang yang dilebihkan hartanya adalah dengan bersyukur dan mendistribusikan kekayaannya untuk manfaat orang-orang yang membutuhkan. Serta kemuliaan orang yang memiliki kekurangan harta adalah dengan bersabar dan berusaha secara optimal. Selain itu sistem ekonomi Islam yang integral memiliki beberapa instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya adalah infaq, zakat dan wakaf.

Instrumen wakaf memiliki keunikan tersendiri sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat.  Keunikan tersebut dilihat dari fungsi wakaf yang dapat dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Harta yang diwakafkan baik berupa masjid, bangunan sekolah maupun rumah sakit dapat memberikan manfaat sangat besar bagi masyarakat. Pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid, musholla, sekolah, pondok pesantren, makam dan lain-lain. Sedikit sekali harta wakaf digunakan secara produktif sehingga benar-benar dirasakan manfaatnya dalam meningkatkan ekonomi umat. Harta wakaf sebenarnya dapat dikelola sebagai modal kerja bergulir untuk mengentaskan kemiskinan, dana abadi beasiswa dhuafa atau program lainnya. Hal inilah yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya di bidang ekonomi, apabila wakaf dipahami dengan baik.

Untuk mencapai sasaran di atas, perlu adanya paradigm baru dalam pengelelaan wakaf secara produktif dan pengembangan wakaf benda bergerak, termasuk uang dan saham. Wakaf benda tak bergerak yang berbentuk tanah, bangunan dan lainnya perlu memiliki kekuatan hukum nilai produktif. Sedangkan benda  wakaf bergerak dikembangkan melalui lembaga perbankan atau badan usaha lainnya dalam bentuk investasi. Hasil dari pengembangan wakaf tersebut dapat digunakan untuk peningkatan pendidikan, bantuan penelitian, fasilitas kesehatan, keperluan sosial, sarana ibadah, maupun hal lainnya yang bermanfaat bagi umat.

Indonesia adalah Negara dengan jumlah masyarakat muslim terbesar serta sumber daya alam terkaya di dunia. Sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi Negara muslim yang maju dan sejahtera, bahkan jumlah masyarakat muslim yang memiliki harta berlebih pun tidaklah sedikit. Akan tetapi kemiskinan yang terjadi di masyarakat semakin kompleks persoalannya. Kondisi ini akan terus terjadi selama masyarakat muslim belum memahami dan menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh. karena Islam mengarahkan penganutnya tidak hanya pada kegiatan ritual semata yang terbatas pada dirinya dan Tuhannya, tapi juga pada dirinya dan orang lain. Sehingga ayat tentang kewajiban mendirikan sholat sebagai bentuk keshalehan pribadi selalu diiringi dengan kewajiban menunaikan zakat sebagai bentuk keshalehan sosial.

Perlu adanya sosialisasi wakaf sebagai salah satu instrumen pembangunan ekonomi umat selain zakat yang dicukup dikenal oleh masyarakat. Salah satu keunikan wakaf adalah ketika harta seorang muslim menjadi wakaf maka terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT. Harta wakaf ketika ditunaikan oleh seorang muslim merupakan amalan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa imbalan) yang dapat direncanakan dengan baik dan masyarakat menerima manfaat secera terus menerus karena bersifat abadi. Fakta sejarah mencatat bahwa peradaban emas Islam yang begitu mengagumkan ditopang dengan pemberdayaan instrumen ekonomi Islam, salah satunya adalah wakaf. Pada abad ke-8 dan ke-9, wakaf dioptimalkan penggunaannya oleh masyarakat muslim walaupun pengelolaannya masih sangat sederhana. Pada saat itu wakaf meliputi berbagai benda, yakni masjid, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, gedung pertemuan, perniagaan, pasar, pabrik beras, pabrik sabun, tempat pemangkas rambut dan lain-lain. Dari fakta tersebut, wakaf benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat muslim ketika itu serta memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan umat, bangsa dan kehidupan bernegara. Bahkan universitas Al-Azhar di Mesir sebagai universitas tertua di dunia merupakan aset wakaf yang dikelola umat dan dapat bertahan hingga kini.

Saat ini wakaf yang memiliki peran dalam meningkatkan ekonomi umat terus dikembangkan, salah satunya berupa wakaf tunai (uang). Karena wakaf tunai memiliki kekuatan yang bersifat umum dimana setiap orang bisa menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu. Dengan demikian pemanfaatannya dapat menjangkau seluruh potensi untuk dikembangkan secara optimal, seperti di Turki dan Bangladesh.

Mustofa Edwin Nasution salah satu pakar Ekonomi Islam menggambarkan potensi wakaf di Indonesia dengan membuat asumsi bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan rata-rata 0,5 juta sampai dengan 10 juta per bulan. Menurut perhitungan angkanya, ini merupakan potensi yang sangat besar. Misalnya, jika warga yang berpenghasilan Rp 0,5 juta sebanyak 4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu, setiap tahun akan terkumpul Rp 240 miliar. Jika warga yang berpenghasilan 1-2 juta sebanyak 3 juta jiwa dan setiap tahun masing-masing berwakaf 120 ribu, akan terkumpul dana sebesar Rp 360 miliar. Jika warga yang berpenghasilan 2-5 juta sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 600 ribu, akan terkumpullah dana Rp 1,2 triliun. Dan jika warga berpenghasilan Rp 5-10 juta berjumlah 1 juta jiwa dan setiap tahun masing-masing berwakaf 1,2 juta, akan terkumpul dana 1,2 triliun. Jadi dana yang terkumpul mencapai 3 triliun setahun. Luar biasa !!! ini jelas potensi yang sangat luar biasa besar. Jika dana itu diserahkan kepada pengelola professional dan oleh pengelola wakaf tersebut diinvestasikan di sektor yang produktif. Mereka menjamin jumlahnya tidak akan berkurang, tapi bertambah, bahkan tetap bergulir. Misalnya saja dana itu dititipkan di bank Syariah yang misalnya diberikan bagi hasil sebesar Sembilan persen, maka pada akhir tahun sudah ada dana segar 270 miliar. Akan banyak yang bisa dilakukan dari dana sebanyak itu. Subhanallah.

Semoga potensi wakaf yang sangat besar yang berupa benda tidak bergerak maupun tunai (uang) dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat muslim dan dikelola secara optimal. Dengan demikian dapat dirasakan manfaatnya dan menjadi sarana pembangunan ekonomi umat. Instrumen wakaf pun dapat dijadikan kebanggaan umat untuk mewujudkan masyarakat muslim yang sejahtera, sehingga Negara Indonesia menjadi Negara baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur. Amin.

Sumber : http://www.beritawakaf.com/

Wakaf sebagai Kegiatan Investasi

Praktik wakaf di Indonesia, setidaknya pada masa-masa terdahulu, terkesan sulit dan berat sekali. Hanya orang kaya atau orang yang punya tanah luas yang bisa melakukan wakaf. Sementara orang-orang yang berpenghasilan rendah seolah tidak punya peluang untuk berwakaf. Untunglah belakangan di Tanah Air sudah mulai dikembangkan wakaf tunai (cash waqf), sehingga siapa saja -- tak peduli berpenghasilan rendah atau tinggi -- berpeluang memperoleh pahala abadi dari wakaf itu.

Meskipun masih tergolong baru di Indonesia, praktik wakaf tunai sebenarnya telah berjalan di beberapa negara Muslim seperti Mesir, dan Tunis. Salah satu faktor keunggulan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun itu terletak pada wakafnya yang teramat besar. Bukan hanya wakaf tanah, gedung dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf tunai. Dengan wakaf yang amat besar itu, Al-Azhar mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah meupun pembayaran siswa dan mahasiswanya. Al-Azhar bahkan mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia selama berabad-abad.

Dalam sejarah Islam, wakaf pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW berupa tujuh kebun yang sebelumnya milik seorang Yahudi bernama Mukhairiq yang tewas pada perang Uhud. Mukhiriq pernah berkata, jika dirinya terbunuh dalam perang itu maka tanah miliknya akan menjadi milik Nabi Muhammad SAW. Mukhairiq tewas dan tanah itu pun menjadi milik Rasulullah yang kemudian diwakafkannya untuk kepentingan umat Islam. Mengomentari hal itu, Rasulullah berkata, "Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi."

Dalam perkembangan sejarah berikutnya, praktik pemanfaatan wakaf telah berkembang cukup maju, baik dari segi kuantitas maupun pemanfaatannya. Dari segi kuantitas, di Mesir, misalnya, jumlah lahan pertanian hasil wakaf masyarakat sampai dengan awal abad ke-19 mencapai sekitar sepertiga dari total jumlah lahan pertanian yang ada. (Lihat: Abu Zahra, Kuliah tentang Wakaf, hlm 24-26). Itu belum termasuk wakaf tanah yang dimanfaatkan untuk pembangunan gedung sekolah, mesjid, rumah sakit, dan panti anak yatim.

Kota Kairo bahkan dikenal dengan sebutan kota 'seribu menara' atau 'seribu mesjid', antara lain memang karena banyaknya mesjid yang dibangun dari hasil wakaf masyarakat. Demikian pula di Turki. Pada perempat pertama abad ke-20, jumlah tanah wakaf dalam bentuk lahan pertanian mencapai kurang lebih sepertiga dari total lahan pertanian yang ada. (Lihat: Tharwat Armagan, Lamhah 'an al-awqaf fi Turkiya, hlm 339).

Sedangkan dari segi pemanfaatannya, tanah wakaf mempunyai andil yang sangat besar dalam memajukan sektor pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sosial lainnya. Sebagai contoh, jumlah sekolah dasar di Sisilia -- ketika masih berada di bawah kekuasaan Islam -- mencapai sekitar 300 sekolah yang seluruhnya dibiayai dari harta wakaf. Belum lagi pemanfaatan wakaf tanah, gedung, buku-buku dan sebagainya untuk perpustakaan sebagai sarana penunjang pembangunan sektor pendidikan. Ulama-ulama Muslim klasik bahkan banyak sekali yang keluaran sekolah-sekolah yang dibiayai oleh harta wakaf.

Dalam bahasa Arab, wakaf (waqf) berarti 'berhenti' atau 'menahan'. Tempat pemberhentian bus atau terminal dalam bahasa Arab disebut mawaqif. Sedangkan dalam istilah syariah, wakaf diartikan -- meminjam definisi Muhammad Syafi'i Antonio -- sebagai aset yang dialokasikan untuk kepentingan umat di mana substansi atau pokoknya ditahan (tidak dikonsumsi), sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum.

Aset yang dimaksudkan di sini mencakup berbagai jenis harta yang dapat menjadi objek wakaf seperti tanah, gedung, kebun, tanaman, maupun uang tunai. Dengan pengertian lain, wakaf dapat dikatakan sebagai pengalihan manfaat aset kekayaan atau harta dari hanya sebagai bahan konsumsi menjadi bahan produksi. Hasil produksi itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan konsumtif umat.

Dengan demikian, wakaf dalam syariah Islam sebenarnya mirip dengan sebuah economic corporation di mana terdapat modal untuk dikembangkan yang keuntungannya digunakan bagi kepentingan umat. Yang lebih menjamin keabadian wakaf itu adalah adanya ketentuan tidak boleh menjual atau mengubah aset itu menjadi barang konsumtif, tetapi tetap terus menjadikannya sebagai aset produktif. Dengan kata lain, paling tidak secara teoritis, wakaf harus selalu berkembang dan bahkan bertambah menjadi wakaf-wakaf baru.

Maka tak heran kalau pemerintah Arab Saudi, misalnya, belakangan mulai menerapkan pengelolaan harta wakaf melalui sistem perusahaan atau corporation. Setelah berhasil dengan investasi harta wakaf dalam bentuk saham pada sebuah perusahaan pemborong dan bangunan yang menghasilkan keuntungan jauh berlipat ganda, Kementerian Wakaf Arab Saudi berencana akan mengembangkan pengelolaan wakaf dengan sistem perusahaan secara lebih luas.

Investasi harta melalui wakaf dalam tatanan Islam sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat unik yang berbeda dengan investasi di sektor pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector). Begitu uniknya, sektor wakaf ini bahkan kadang-kadang disebut sebagai 'sektor ketiga' (third sector) yang berbeda dengan sektor pemeritah dan sektor swasta.

Keunikan itu, tampak bahwa pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal -- baik pemerintah maupun swasta -- tetapi lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan kerja sama. Oleh karenanya, agama menjanjikan pahala yang abadi bagi pewakaf (waqif) selama aset yang diwakafkannya masih bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.

Selain itu, secara teoritis, aset yang diwakafkan semestinya harus terus terpelihara dan berkembang. Hal itu terlihat dari adanya larangan untuk mengurangi aset yang telah diwakafkan (al-mal al-mawqif), atau membiarkannya tanpa diolah atau dimanfaatkan, apalagi untuk menjualnya. Artinya, harus ada upaya pemeliharaan, paling tidak terhadap pokok atau substansi wakaf dan terhadap daya produksinya, dan pengembangan yang terus menerus.

Berkaitan dengan hal ini, menarik sekali kasus investasi wakaf mesjid yang dikembangkan di beberapa kota di Timur Tengah seperti Mekkah, Kairo dan Damaskus. Kemajuan di bidang teknologi bangunan yang memungkinkan perluasan gedung secara vertikal semakin menambah 'nilai tukar' tanah wakaf. Akhirnya muncul pemikiran untuk meninjau ulang sejumlah wakaf tetap seperti mesjid yang pada waktu diwakafkan hanya terdiri dari satu lantai.

Mesjid-mesjid seperti itu banyak yang dibongkar dan dibangun kembali menjadi beberapa lantai di atas tanah yang sama. Lantai satu digunakan untuk mesjid, lantai dua digunakan untuk ruang bimbingan belajar bagi anak-anak sekolah, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat untuk ruang pertemuan serba guna, dan begitu seterusnya.

Semua itu, diolah dengan sistem profit yang menjamin pengembangan investasi wakaf. Dari situ terlihat jelas bahwa dari luas tanah wakaf yang sama dapat diperoleh pemasukan yang bermacam-macam -- dalam contoh di atas adalah pemasukan dari balai pengobatan, penyewaan ruang pertemuan, dan sebagainya.

Sumber : http://www.beritawakaf.com/

Optimalisasi Zakat dan Wakaf dalam Memberdayakan Masyarakat


Ekonomi merupakan salah satu hal yang urgent dalam kehidupan masyarakat. Pada awalnya, para filsuf pra klasik seperti Plato, Aristoteles, Xenophon telah membahas hal perekonomian dengan pemikiran-pemikirannya. Pemikiran ekonomi juga telah dimulai sejak manusia dilahirkan, bahkan Rasulullah SAW sendiri adalah pelaku ekonomi yang berprofesi sebagai pedagang. Selang beberapa tahun, muncullah ekonom-ekonom yang namanya terkenang hingga sekarang. Tujuan dari pemikiran ekonomi tersebut adalah ingin menyejahterakan masyarakat. Para pemikir tersebut tersebar pemikirannya yang membahas tentang ekonomi kapitalis, sosialis, dan tidak sedikit yang membahas tentang ekonomi islam yang mengacu pada Quran dan Hadits.

            Joseph Shumpter adalah ekonom kapitalis yang mengakui tentang pemikiran-pemikiran ekonomi islam yang tela dicetuskan oleh Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah dan sebagainya. Beliau juga lah yang menyatakan bahwa Eropa telah mengalami ­Great Gap pemikiran ekonomi yang berusaha ditutup-tutupi oleh barat. Paham kapitalis yang diusung oleh Adam Smith mengemukakan bahwa dalam permintaan dan penawaran pasar ditentukan oleh Market Merchanism, dan dilarangnya intervensi dari pemerintah. Campur pemerintah hanya akan menghambat laju perekonomian. Berbeda dengan kapitalis, Karl Max tokoh penggagas paham sosialis beranggapan bahwa teori kapitalis hanya akan menyudutkan kaum buruh, maka negara harus mempunyai peran penting dalam perekonomian. Jika suatu negara ingin makmur, maka perekonomian dipusatkan di pemerintah, tidak ada yang lebih kaya dan tidak ada yang lebih miskin.

            Dalam implementasinya, kedua sistem ekonomi tersebut tidak dapat menyejahterakan masyarakat. Pada tahun 1930 telah terjadi depresi besar-besaran di dunia. Perdagangan turun 50%, perekonomian lesu, dan inflasi terjadi di berbagai negara. Tidak hanya pada tahun 1930, pada tahun 1997 juga pernah terjadi krisis finansial Asia yang telah melumpuhkan perekonomian Asia, tidak luput dengan Indonesia. Pada tahun 2008, Eropa digempur dengan krisis yang bermula dari Yunani yang tidak mampu membayar hutang luar negerinya. Amerika yang terkana subprime mortgage, krisis KPR yang menyebabkan Lehman Brothers gulung tikar. Bila dicerna, dampak ekonomi ini terjadi berulang kali, hampir beberapa tahun terjadi sekali. Dan tidak ditemukan solusi alternatif dari dampak krisis tersebut.

            Ekonomi Islam dilirik pertama kali di Indonesia ketika Bank Muamalat mampu bertahan dari krisis pada tahun 1998, bahkan cenderung naik di samping melemahnya berbagai lembaga keuangan yang lainnya. Dari peristiwa tersebut, ekonomi islam dianggap mampu menjadi ekonomi alternatif dalam menyejahterakan masyarakat. Padahal, jika ditilik jauh sebelum pemikir ekonomi kapitalis dan sosialis mengemukakan pendapatnya, Islam telah membahas perekonomian tersebut pada tahun 2H, yaitu awal disyariatkannya zakat. Konsep keadilan yang dibawa oleh Islam juga sangat berbeda oleh kapitalis dan sosialis. Adil menurut Islam adalah laa tudzlimuuna wa laa tudzlamuun, tidak dizalimi dan tidak menzalimi. Artinya, dalam kekuatan pasar, seorang pembeli tidak menzalimi penjual dan juga tidak dizalimi oleh penjual, begitu juga sebaliknya.

            Islam adalah agama yang komprehensif dan universal. Komprehensif artinya agama Islam mencakup kegitan ritual dan sosial (ibadah dan muamalah). Sedangkan yang dimaksud dengan universal adalah agama Islam mampu diterapkan di berbagai zaman dan di berbagai waktu. Artinya, kehidupan bermumalah dalam Islam telah diatur sejak diturnkannya Islam sebagai agama yang benar. Ekonomi pun tidak luput dari aturan Islam, semua hal telah diatur dan ditata dalam Islam. Pendapatan dan pengeluaran negara Madinah juga telah ada ketika Rasulullah menjadi kepala negara kala itu. Kebijakan-kebijakan fiskal Rasulullah antara lain adalah diterapkannya zakat, jizyah, fa’i, ‘usyr, nawaib, dan sebagainya. Pengeluaran pada masa Rasulullah juga untuk kepentingan dakwah, pendidikan, sosial, sedangkan Rasulullah hanya menyisakan 80 butir kurma untuk keluarga beliau.

            Untuk itu, dalam perekonomian pun Islam telah mengaturnya. Hal tersebut terimplementasikan dalam instrument zakat dan wakaf yang mampu memberdayakan masyarakat.

Zakat Produktif
Tanpa kita pungkiri, angka kemiskinan di Indonesia terbilang tidak sedikit. Ini mengindekasikan bahwa Negara kita belum mampu untuk mensejahterakan rakyat, padahal Negara mempunyai kewajiban penuh untuk mensejahterakan rakyatnya, hidup tentram, dan aman. Ironis sekali, di Negara kita yang mayoritas menganut agama islam, bila ternyata statistik kemiskinan cukup banyak, padahal Negara dituntut untuk mensejahterakan rakyatnya dengan merata. Statistik kemiskinan Negara kita, akan penulis sajikan sesuai dengan data valid yang diambil dari data Badan Pusat Statistik sebagai berikut:

Tahun
Tingkat Kemiskinan
2010
14,15%
2011
12,49%
2012
11,96%
2013
11,47%

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari data BPS di atas tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya. Dari 11, 96% pada tahun 2012 kemudian turun menjadi 11, 47% pada tahun 2013. Namun, presentase tersebut masih dinilai besar, karena 28, 07 juta masyarakat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dari banyaknya angka kemiskinan di Indonesia ini, dibutuhkan adanya solusi jitu untuk mengentaskan angka kemiskinan, salah satunya dengan zakat.

            Dengan potensi yang mencapai angka 3,40 persen dari PDB, atau tidak kurang dari Rp 217 triliun setiap tahunnya, maka keberadaan zakat harus dapat dioptimalkan dalam upaya pengentasan kemiskinan ini. Apalagi secara peruntukkannya, Al-Quran memprioritaskan penyaluran zakat pada delapan kelompok, di mana fakir miskin menjadi kelompok yang mendapat prioritas utama. Maka diharapkan, zakat mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sekaligus memperkuat perekonomian kerakyatan.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS AtTaubah: 103).

            Dalam pendistribusian zakat yang dialokasikan pada delapan golongan  yang telah ditetapkan Al-Qur’an, semaksimal mungkin zakat dapat mensejahterakan para mustahiq. Maka bagi badan Amil zakat dan pihak yang mengelola zakat diharapkan tidak hanya mendistribusikan zakat berupa barang konsumtif yang berbentuk uang atau beras, tapi diharapkan Amil zakat dengan semaksimal mungkin dapat mendistribusikan zakat berupa barang produktif, yaitu permodalan yang diharapkan mampu dimaksimalkan oleh mustahiq. Sehingga kedepannya para penerima zakat tidak menjadi mustahiq lagi, tapi menjadi pemberi zakat. Adanya zakat produktif ini sangat berperan dalam mengentaskan kemiskinan, menumbuhkan perekonomian dan kesejahteraan pada masyarakat.
          
Wakaf Pemberdayaan
Banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari wakaf ini, mulai dari pengembangan dan pemberdayaan masyarakat baik dari segi sumber daya manusia maupun perekonomian. Selain akan mendapatkan pahala dari amal jariyah tersebut (private benefit) bagi seorang yang mewakafkan hartanya, juga akan berdampak luas dan besar bagi masyarakat yang menerima wakaf tersebut (sosial benefit). Dan ini adalah peluang yang sangat besar untuk menyejahterakan umat.

           Bukti wakaf dapat menyejahterakan umat adalah dengan pembangunan perumahan sederhana untuk mustadh’afin dengan dana wakaf, seperti yang terjadi di Turki, Mesir, al-Jazair, dan Malaysia. Nadzir wakaf yang kebanyakan sudah berbentuk yayasan dan badan hukum membangun rumah untuk mustadh’afin di atas tanah wakaf dengan dana wakaf. Seperti layaknya harta wakaf para penghuni hanya memiliki hak pakai atau hak sewa. Dengan adanya perumahan wakaf ini para mustadh’afin mendapatkan kesempatan menyewa dengan harga yang terjangkau untuk jangka waktu yang lama. Jangka waktu yang lama ini sangat penting guna memastikan keamanan dan ketenangan –tanpa takut diusir- bagi anak cucu dan keluarga yang bersangkutan. Berapa banyak para mustad’afin yang membangun rumah gubuk mereka di tanah pemerintah, dan akhirnya pun terjadinya penggusuran oleh pemerintah, sehingga keamanan dan kenyamanan mereka pun terganggu.

           Potensi wakaf di Indonesia sangat besar, dan hal itu bisa kita alokasikan dengan membangun RSS (rumah sangat sederhana) dan rumah sederhana tipe 21 sampai 36 yang diperuntukkan bagi para mustadh’afin. Mereka tetap harus membayar, namun sesuai dengan kemampuannya.

            Kewajiban membayar ini diperlukan, di samping dananya bisa digulirkan untuk orang lain, juga untuk kedisiplinan dan memberi rasa bangga pada merka bahwa rumah itu merupakan hasil keringat mereka sendiri. Secara psikologis, Insya Allah, perasaan itu akan memacu semangat kerja mereka untuk mencari nafkah guna membayar cicilan.

Kesimpulan

            Agama Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal, di mana agama Islam ini mecakup segala bidang kehidupan ibadah dan sosial, serta diterapkan di berbagai zaman. Dan salah satu bidang yang mampu dimaksimalkan adalah bidang ekonomi untuk diterapkannya nilai-nilai Islam. Jika dilihat dari bergbagai aspek, ekonomi Islam memiliki keunggulan daripada system ekonomi yang lainnya. Dari dampak krisis yang terjadi di dunia menandakan bahwa ekonomi kapitalis tidak mampu memberikan dampak kesejahteraan.

      Dalam ekonomi Islam, zakat merupakan salah satu instrumen yang mampu mensejahterakan masyarakat. hal ini ditandai dengan pendistribusian zakat kepada para mustahik yang sebagian besarnya adalah kaum fakir dan miskin. Dengan adanya potensi zakat yang sebegitu besar, maka kemiskinan di Indonesia akan dapat diatasi dengan cepat.

            Instrumen lain dalam Islam yang mampu mensejahterakan masyarakat adalah wakaf. Hal ini sangat berbeda dengan konsep filantropi pada umumnya. Dana wakaf adalah dana yang bersifat abadi, artinya dana ini tidak dapat dinikmati oleh individual, namun dapat dinikmati umat secara keseluruhan. Untuk memaksimalkan dana ini, diperlukan nazir yang amanah dan professional, agar mampu mengembangkan dana wakaf untuk kepentingan umat. Jika dana zakat dan wakaf mampu dimaksimalkan dengan baik, maka kesejahteraan di Indonesia akan segera terwujud.


Sumber : http://www.beritawakaf.com/

Menggali Potensi Penerimaan Negara dari Zakat sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan. Mungkinkah?

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).

Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia.
Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable).
Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia, zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak.
Zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Ketua I Baznas, Eri Sudewo juga mengungkap hal serupa. Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. `’Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan, pajak digunakan untuk membangun infrastruktur. Saya kira konsep ini cukup tepat,” katanya.
Penanganan kemiskinan dengan mendorong perkembangan zakat lebih baik dibandingkan dengan berutang ke luar negeri. Namun, saat ini, pemerintah memilih menangani persoalan kemiskinan di Indonesia dengan mencari utang luar negeri.
Berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut disadari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam.
Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak.
Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat.
Beranikah kita mencontohnya?
Di negara serumpun, Malaysia, realisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan basa-basi. Hasilnya sangat signifikan. Di Malaysia, pendapatan zakat dan pajak mengalami peningkatan pasca penerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Ternyata, dana pajak yang dikumpulkan tidak mengalami penurunan. Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terungkap bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi positif. Ustadz Didin mengambil contoh, pada tahun 2001 pendapatan zakat sebesar 321 juta ringgit dan pendapatan pajak berkisar pada angka 79,57 milyar ringgit. Tahun berikutnya, pendapatan zakat naik menjadi 374 juta ringgit. Demikian pula dengan pendapatan pajak yang naik menjadi 83,52 milyar ringgit. Pada tahun 2005, pendapatan zakat telah mencapai angka 573 juta ringgit, sedangkan pajak 106,3 milyar ringgit. Dengan demikian, prosentase pendapatan zakat terhadap pajak relatif konstan, yaitu berkisar antara 0,4% (2001) hingga 0,54% (2005), tegasnya.
Prof. Dr. H. Didin Hafidhuddin, Ketua BAZNAS, mengatakan bahwa UUD Pasal 34 telah mengamanatkan kepada negara untuk memperhatikan dan mengangkat nasib fakir miskin, akan tetapi hingga kini menurut beliau belum ada UU khusus yang berbicara pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu menurut Ustadz Didin, sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan. Disinilah relefansi usulan agar zakat dapat mengurangi pajak, bukan hanya sekadar pengurang penghasilan kena pajak, berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 dan UU No. 38 tahun 1999.
Perlu juga disadari bahwa sesungguhnya antara UU no 17/2000 dan UU No 38/1999 tidaklah konsisten. Sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa didalam UU No 17/2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan (zakat profesi). Padahal pada saat yang sama di dalam UU No 38/1999 disebutakan bahwa zakat (tanpa ada embel−embel atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam UU No 38/1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terdiri atas ; emas, perak, dan uang ; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian; hasil perkebunan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; serta rikaz.
Hal lain yang patut disayangkan, bahwa UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki.Dikatakan dalam UU No 38 / 1999 pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat, diancam hukuman kurungan selama−lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak−banyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat saja, tapi juga kepada muzaki yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Bicara zakat di Indonesia, agaknya tertakdir kisruh. Guratan sejarah tak bisa ditepis, profesionalitas pengelolaan zakat dimulai dari masyarakat. LAZ bangkit karena negara tak mau tahu soal zakat. Diakui atau tidak, UU 38 tahun 1999 diilhami maraknya LAZ. Namun hadirnya UU itu, agaknya disemangati memangkas LAZ. Saat Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra di era Gus Dur, ia tak sepakat zakat dikelola negara. Hal senada diulang ketika Munas FOZ di Balikpapan tahun 2003. Alasannya sederhana, dia tak percaya.
Sepekan menjelang tutup Ramadhan 1427 H, Presiden SBY tunaikan zakat via Baznas. Esoknya Wapres RI juga bayar zakat. Namun JK tetap konsisten dengan opininya. Zakatnya tak ditunaikan di lembaga bentukan pemerintah. JK punya postulat sendiri, yang pilihannya jatuh pada LAZ NU (Nahdatul Ulama).
Sebagian pejabat yang berwenang di zakat, meyakini bahwa soal zakat di Indonesia bersumber pada UU 38 tahun 1999. Namun bagi arsitek UU, pengelolaan zakat belum menjalankan petuah UU. Jika ditilik dari isi UU itu, ada dugaan terjadi pemaksaan multiperan di satu tubuh. Baznas dipaksa punya tiga peran: regulator operasional, pengawas, dan sekaligus berfungsi sebagai operator. Mustahil bisa diraih kinerja terbaik, jika pengatur laku berperan juga sebagai pengawas dan bahkan jadi pemain.
Sudah berkali-kali kelembagaan zakat diadvokasi untuk dibenahi. Ada tiga alternatif yang digagas. Pertama, jika pemerintah sungguh-sungguh, bentuk segera kementerian zakat dan wakaf. Agar efisien dan efektif, pilih kementerian non-departemen. Mintalah bantuan Ditjen Pajak sebagai gerai penghimpunan zakat di seluruh Indonesia. Syaratnya, dengan terpaksa Baznas ditutup, agar tak terjadi dualisme manajemen dan komando.
Alternatif kedua, bentuk Ditjen Zakat sederajat dengan Ditjen Pajak. Agar zakat bisa mengurangi pajak, Ditjen Zakat ditempatkan di Depkeu. Karena tugasnya hanya menghimpun dana, maka pendayagunaan zakat mesti melibatkan BAZ kabupaten/kota dan LAZ. Alternatif ketiga, jika ditjen sulit dibentuk, saatnya Baznas diprofesionalkan. Ihlaskan Baznas independen di bawah presiden atau wapres.
Dana zakat yang terhimpun dimasukkan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penggunaan PNBP dana zakat sesuai dengan prosedur penggunanaan PNBP. Dalam penyaluran dana zakat disesuaikan dengan Alquran dan Sunnah Rosul, yang ditetapkan dalam suatu peraturan dari pemerintah. Selain itu, yang tak bisa ditawar-tawar lagi adalah SDM pengelolanya haruslah handal, berkualitas, amanah, dan memiliki kafa’ah (kapabilitas) syari’ah dan manajamen zakat tentunya. Oleh karena itu, SDM yang selama ini mengelola BAZ dan LAZ dengan amanah dan profesional, harus dilibatkan, tentunya setelah melalui proses fit and proper test yang ketat. Dengan demikian diharapkan, jika zakat dikelola ‘satu pintu’ oleh negara oleh SDM profesional dan amanah, selain lebih ‘yunnah’ juga insya Allah akan lebih multimanfaat bagi ummat.
Apabila yang diinginkan Baznaz dikabulkan pemerintah, yaitu zakat sebagai pengurang pajak. Dilanjutkan dengan pengelolaan dana zakat yang transparan dan profesional maka itu adalah kemajuan yang hebat. Umat Islam tidak ragu-ragu menunaikan zakatnya melalui lembaga resmi pemerintah. Dan saya yakin, dana zakat yang terhimpun akan optimal, dan sangatlah tepat jika zakat dijadikan instrumen oleh negara dalam mengurangi angka kemiskinan.
Karena seiring dengan kekuatan yang besar, datang tanggungjawab yang besar.
Sumber : http://imamnashirudin-taxman.com/

Zakat Pondasi Ekonomi Kerakyatan

Zakat Pondasi Ekonomi Kerakyatan

Mesir Republik setelah revolusi menumbangkan Rejim Hosni Mubarak terjerumus dalam krisis ekonomi. Inflasi mata uang E£ (Egypt Pound) sangat tinggi. Seperti krisis 1998 di indonesia, lembaga internasional turun menawarkan $750 HUTANG BESAR (baca: agar bisa dikontrol untuk proyek asing). Namun, mesir MENOLAK hutang tersebut. Kenapa?

Pengelolaan Wakaf, Zakat, Infaq dan Shodaqoh secara modern diterapkan oleh al-azhar sebagai basis lembaga tertua yang hingga sekarang mampu bertahan dan menjadi contoh manajemen terbaik dalam bidang wakaf. Di Negara ini wakaf berkembang dengan menakjubkan karena memang dikelola secara profesional. Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara faktor-faktor yang menjadi pendukungnya adalah: ”Pertama, pihak pengelola wakaf menyimpan hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua, untuk pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah. Ketiga, Departemen Perwakafan melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai penanam modal untuk pendirian pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk perumahan dan bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah wakaf yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja” (Hasan Abdullah al-Amin (ed), “Idarah wa Tassmir Mumtalakat al-Auqaf”,(Jeddah: Ma’had al-Islamiy li al-Buhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamiy, 1989). hlm. 344.

Inilah yang Rasulullah SAW sabdakan bahwa 'Zakat adalah JEMBATANNYA Islam', maksud dari cara mencapai tujuan dengan washilah jembatan adalah solusi yang islam tawarkan untuk perekonomian Umat Islam adalah dengan ZAKAT.
Sebagai negara mayoritas Islam di dunia, dengan tingkat ke-3 korupsi tertinggi didunia pula; Indonesia menghadirkan persoalan perekonomian yang mewabah hingga akar masyarakat. Kemiskinan, putus sekolah akibat tidak punya uang, pencurian dengan alasan biaya hidup, merampok untuk menghidupi keluarga, bahkan Kawin banyak istri karena alasan kamuflase membantu taraf hidup mereka, adalah sesuatu yang lumyah ditemui.


Di China, para petani padi berhasil mengekspor jutaan tonnase hasil panen ke negeri Indonesia, padahal China mempunyai 4 musim dalam setahun; artinya mereka hanya bertani hanya 1 kali musim saja. Berbeda dengan Indonesia yang tropikal dengan hujan dan panas, sehingga bisa menanam padi 3-4 kali musim dalam setahun. Jika demikian, potensi panen raya sangatlah tinggi sekali. Hal tersebut berdampak pada adanya POTENSI zakat yang bisa diambil dari zakat hasil bumi (panen) sekitar 5%-10% setiap tonnase. Ini mampu menyelesaikan persoalan ekonomi kerakyatan di tingkatan desa dan kampung di Indonesia.


Siapakah ORANG MISKIN yang sering dipresentasikan badan pusat statistik tersebut? Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September mencapai 29,13 juta orang. Angka ini diperoleh berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS). (2/1/2013).dari angka tersebut, mereka adalah orang yang hidup berdampingan dengan kita semua; adalah fakir, miskin, janda, lansia, yatim, piatu, pengangguran, orang yang putus sekolah, orang yang tidak mampu lagi membayar hutang, dan banyak lagi dari mereka berserakan di jalan atau kota tanpa identifikasi riil untuk dijadikan BANK DATA MUSTAHIQ.



إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Attaubah:60)


Sebagai usaha untuk pengentasan kemiskinan melalui TEKNIK ZAKAT PANEN, kita ambil simulasi sederhana saja, bahwa jika kita sadar akan potensi zakat panen di desa kita, bisa saja setiap musim garapan akan mampu mencapai angka Rp. 634.200.000 / musim??? Hitung-hitungnya seperti ini; Desa kubang puji adalah desa no 2 (604 ha) terbanyak sawahnya setelah linduk (654 ha). Dengan jumlah Poktan terbanyak sekecamatan pontang.

Jika 1 ha = 7 ton x 604 ha = 4.228 ton/musim : zakat min 5% = maka potensi zakat 211,4 ton/musim. bila harga gabah panen rp.3000/kg maka hasil potensi zakat panen adalah Rp. 634.200.000 / musim.Selanjutnya, dengan potensi pemasukan riil tersebut, berbanding dengan Database Mustahiq yang dijadikan expenditure project, maka proses pengentasan kemiskinan dengan metode zakat bisa diselesaikan. 

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Al-Baqarah :277)

Dengan pelaksanaan zakat yang dikelola professional, maka tatanan masyarakat akan sejahtera. Jauh dari rasa takut dan rasa kelaparan. Keamanan dengan sendirinya akan terbangun bila masyarakat tercukupi kebutuhan pangannya, selanjutnya dengan putaran ekonomi didesa/kampung yang lancar, berdampak terciptanya ekonomi kerakyatan yang madani.

Zakat dan Pajak, Dapatkah Disatukan?

Menilik sejarah pada zaman Nabi dan khalifah sesudahnya, zakat merupakan satu-satunya sistem perpajakan bagi umat Islam di luar kharaj yakni pajak atas tanah. Sekarang umat Islam berada pada abad 21 dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari masa lalu. Kita hidup di dunia modern dengan sistem perpajakan yang persentasenya lebih tinggi dari persentase zakat.
Dalam kaitan ini, pertanyaan yang sering muncul, apakah masih wajib zakat atas harta yang telah kena pajak, apakah boleh membayar pajak dengan niat zakat, dan sederet pertanyaan lainnya.
Setahu saya isu ini telah ada sejak lama dan dibahas dalam Seminar Nasional tentang Zakat dan Pajak yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 2 – 4 Maret 1990 di Jakarta. Menteri Agama waktu itu H. Munawir Sjadzali, MA mengingatkan tentang perlunya pemikiran yang dinamis mengenai pelaksanaan zakat. Bapak Munawir Sjadzali yang pada pertengahan dekade delapan puluhan menawarkan gagasan reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam mengatakan bahwa zakat tentu masih wajib hukumnya setelah ada pajak.
Dalam seminar itu ahli fiqih terkemuka Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML selaku Ketua Komisi Fatwa MUI menyampaikan paparan yang cukup komprehensif. Ibrahim Hosen merujuk pendapat mayoritas ulama bahwa zakat dan pajak di dalam Islam adalah wajib guna menghimpun dana yang diperlukan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Perbedaannya hanya dari segi penetapan hukumnya. Zakat penetapan hukumnya berdasar agama (syar’i) melalui ayat Al Quran dan Hadis Nabi, sedangkan pajak kewajibannya berdasar penetapan atau ijtihad ulil amri (pemerintah). Pendapat mayoritas ulama menyatakan kedua-duanya wajib ditunaikan. Kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.
Ketua Umum MUI waktu itu K.H. Hasan Basri menegaskan, “Zakat mempunyai kekhususan, yakni dari umat Islam, oleh umat Islam dan untuk umat Islam. Lain halnya dengan pajak. Pajak mempunyai ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas, baik sumber maupun pemanfaatannya. Pendapat sebagian besar ulama menyatakan bahwa zakat tidak bisa dipajakkan, begitu pula pajak tidak bisa dizakatkan.”
Bagaimana di negara lain? Dewan Penelitian Keislaman Universitas Al-Azhar Cairo Mesir memfatwakan bahwa pajak untuk kepentingan negara tidak dapat menggantikan pembayaran zakat yang wajib hukumnya dalam Islam. Pendapat senada dikeluarkan oleh Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Di Arab Saudi pembayaran pajak tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat. Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar, tetapi dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat.
Keberhasilan zakat dan pajak tergantung dari pengelolaannya, tetapi dari segi hukum dan implementasinya harus tetap dipisah. Menurut Ketua Umum BAZNAS Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meski dalam beberapa hal terdapat persamaan. Perbedaan yang mendasar, antara lain: Pertama, dari segi nama, secara etimologis zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat dan berkembang. Kedua, dari segi dasar hukum dan sifat kewajiban, zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al Quran dan Hadis yang bersifat qath’i, sehingga bersifat mutlak atau absolut sepanjang masa. Kewajiban zakat tidak dapat dihapuskan oleh siapapun. Sedangkan pajak keberadaannya sangat tergantung dari kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang. Ketiga, dari sisi obyek dan persentase serta pemanfaatannya, zakat memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase baku berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai Hadis Nabi. Sedangkan pungutan pajak tergantung pada jenis, sifat dan cirinya. Zakatharus digunakan untuk kepentingan mustahik yakni 8 asnaf, sedangkan pajak dapat digunakan untuk membiayai seluruh sektor kehidupan negara, sekalipun dianggap tidak berkaitan dengan ajaran agama.
Guru Besar IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof. KH Sjechul Hadi Permono semasa hidupnya pernah persamaan dan perbedaan antara pendayagunaan pajak dan pendayagunaan zakat. Semua bidang dan sektor pembangunan yang dibiayai dari dana zakat, kecuali: (1) untuk agama non-Islam, (2) untuk aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (3) yang tidak mengandung taqarrub (kebajikan, kebaikan) menurut Islam, dan (4) yang berbau maksiat dan/atau syirik menurut pandangan ajaran Islam.
Sjechul Hadi Permono menyoroti perbedaan pendayagunaan zakat dan pajak pada empat pengecualian tersebut, tidak dapat dibiayai dari dana zakat (sekalipun dapat dibiayai dari dana pajak) karena bertentangan dengan arti ibadah zakat itu sendiri. Banyak bidang yang dapat dibiayai dari dana zakat, namun tidak dibiayai dari pajak, seperti muallaf, riqab dan gharim.
Yang pernah diusulkan oleh BAZNAS kepada Dirjen Pajak ialah “zakat sebagai kredit pajak”, artinya bukan hanya pengurang penghasilan bruto (penghasilan kena pajak). Seandainya zakat berlaku sebagai pengurang pajak, hampir dapat dipastikan berdampak positif terhadap transparansi data wajib zakat dan wajib pajak.
Pemerintah telah melakukan langkah-langkah dan upaya mendorong pemberdayaan potensi zakat melalui penyempurnaan regulasi dan penguatan infrastruktur lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan hukum formal. Oleh karena itu pengembangan sistem pelayanan zakat dan pajak yang efektif seyogyanya menjadi prioritas ke depan. Dalam kenyataan, banyak celah orang tidak membayar zakat kepada lembaga yang resmi, tetapi sulit menghindar dari kewajiban pajak karena sistem pajak yang sudah sedemikian canggih (sophisticated). Saya kira tidak perlu ditunggu “revolusi” zakat karena ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW lebih dari empat belas abad yang lalu adalah suatu ajaran yang sangat revolusioner.

Sumber : http://pusat.baznas.go.id/